Yahoo Answers akan ditutup pada 4 Mei 2021 dan situs web Yahoo Answers sekarang tersedia dalam mode baca saja. Tidak akan ada perubahan pada properti atau layanan Yahoo lainnya, atau akun Yahoo Anda. Anda dapat memperoleh informasi lebih lanjut tentang penutupan Yahoo Answers dan cara mengunduh data Anda di halaman bantuan ini.

Lv 617.836 points

?

Jawaban Favorit24%
Jawaban3.512

"Tidaklah patut bagi Mukminin, dan tidak pula bagi Mukminat, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain di tentang urusan mereka. Barangsiapa durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya ia telah sesat, sesat yang nyata". (al-Ahzab 36). Hmm... Tidak ada pilihan lain...

  • Beda Mahrom dengan lainnya?

    Kenapa lelaki yang haram dinikah disebut "mahrom", sedangkan wanita yang haram dinikah disebut "yang tidak halal" bagimu?

    2 JawabanRamadhan7 tahun yang lalu
  • Menikahi anak gadis seorang TKI?

    Kalau anda ditaksir anak gadis TKI yang berwajah Arab, hasil dari hubungan diluar nikah ibunya dengan sang majikan. Beranikah anda menikahinya?

    Apa alasan anda?

    Terima kasih.

    10 JawabanRamadhan7 tahun yang lalu
  • Inikah niat Anda menuntut ilmu-ilmu Agama?

    Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa menuntut ilmu untuk mendebat orang yang bodoh atau menandingi para ulama’ atau untuk mencari perhatian manusia, maka Allah akan memasukkannya kedalam api neraka.” (HR. Tirmidzi).

    Jika bukan, kenapa Anda berdebat di room ini?

    9 JawabanRamadhan7 tahun yang lalu
  • Anjuran untuk Kembali Kepada al-Qur'an dan as-Sunnah?

    Perhatikan pendapat-pendapat imam madzhab ini:

    - Tentang anjing, imam Ahmad, Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat “anjing najis”, tapi imam Malik mengatakan “suci”.

    - Tentang babi, Imam Syafi’i menetapkan babi najis, tapi imam Malik mengatakan suci waktu hidupnya.

    - Tentang kucing buas, imam Abu Hanifah berpendapat haram dimakan, begitu juga imam Syafi’i. Imam Malik berkata makruh. Dari Imam Ahmad ada dua riwayat, yang satu mengatakan halal dan yang lain mengatakan haram. Tentang kucing ini saja ada tiga pendapat.

    - Tentang kodok, imam Malik berpendapat boleh dimakan, tetapi imam Ahmad berpendapat tidak boleh. Jadi ada dua macam pendapat.

    - Tentang kuda, menurut imam Syafi’i dan Ahmad, kuda itu halal, imam Malik berkata makruh, tapi imam Abu Hanifah berkata haram. Tentang satu binatang ada tiga pendapat.

    Perhatikan perbedaan faham imam-imam itu. Kalau kuda itu haram betul, makruh itu betul dan halal itu juga betul, lalu yang manakah yang salah?

    Yang mana yang harus diturut? Mereka (kaum madzhab) akan jawab salah satunya. Kalau salah satu yang diturut, berarti yang lainnya salah, karena tidak diturut.

    Kalau ketiganya benar, tidak ada yang salah, mestinya ketiganya itu boleh diturut. Tetapi kaum madzhab berkata tidak boleh turut semua, harus memilih salah satunya.

    Kalau dua yang bertentangan itu benar dua-duanya, mestinya tidak boleh disalahkan orang yang berkata anjing itu najis dan yang berkata anjing itu suci. Keanehan-keanehan seperti inilah yang akan kita dapati pada kaum bermadzhab.

    Tetapi Agama, dan juga akal sehat tidak dapat menerima kalau yang benar itu ada dua, atau tiga atau lebih. YANG BENAR ITU MESTI SATU.

    Oleh karena itu, diantara pendapat imam-imam tadi mesti ada satu saja yang benar. Untuk memutuskan mana yang benar dan mana yang salah, tidak ada jalan lain melainkan KEMBALI KEPADA AL- QUR'AN DAN AS-SUNNAH.

    Jadi, kaum yang KKQS itu justru tidak bermadzhab atau tidak cenderung kepada salah satu madzhab saja, melainkan mengambil mana yang betul dari pendapat imam-imam madzhab itu untuk satu-satu perkara Agama, tidak untuk semuanya.

    Tapi, daripada kita disibukkan mencari mana yang betul dan mana yang salah dari pendapat-pendapat imam itu, mending kita langsung saja kembali kepada al-Qur'an dan as-Sunnah, gitu aja kok repot.

    Jam'iyah yang telah KKQS hanya PERSIS dan mungkin juga al-Irsyad.

    Sedangkan NU dan Muhammadiyah masih bermadzhab, yakni Syafi'ie. Wahabi bermadzhab Hambali. Syi'ah (jika tidak kafir) bermadzhab Jakfari.

    Tambahan penjelasan.

    http://id.answers.yahoo.com/question/index;_ylt=Aj...

    "Berpegang-teguhlah kalian kepada tali (agama) Allah, dan janganlah bercerai-berai".

    Silahkan tanggapan Anda, terima kasih.

    8 JawabanRamadhan7 tahun yang lalu
  • Apa yang dimaksud dengan Kembali Kepada al-Qur'an dan as-Sunnah (KKQS)?

    Menurut anda, ormas atau jam'iyah manakah yang telah KKQS?

    Apa madzhab golongan yang telah KKQS itu?

    Terima kasih atas perhatian dan jawaban anda.

    6 JawabanRamadhan7 tahun yang lalu
  • Satu sebab kenapa syiah (dan sufi) tidak meyakini orang tua Nabi di neraka?

    Dari ABU HURAIRAH radhiyallahu 'anhu, berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menziarahi kubur ibunya, lalu beliau menangis sehingga orang-orang yang ada di sekitar beliau-pun ikut menangis. Karenanya beliau bersabda, “Aku telah meminta izin kepada Rabb-ku untuk saya beristighfar (memintakan ampun) baginya, namun Dia tidak mengizinkan. Dan aku meminta izin untuk menziarahi (mengunjungi) kuburnya, maka Dia mengizinkan untukku. Karenanya, lakukan ziarah kubur, sebab hal itu bisa mengingatkan kepada kematian.” (Muslim).

    Dalam riwayat lain yang disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir, dari hadits Ibnu Mas’ud bahwa kisah ini menjadi sebab turunnya firman Allah, “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka J4hanam.” (QS. Al-Taubah: 113) dan beliau shallallahu 'alaihi wasallam mengutarakan bahwa kesedihan ini merupakan naluri sayang seorang anak terhadap orang tuanya. (Lihat: Al-Hakim dalam Mustadrak: 2/336 beliau mengatakan, “Shahih sesuai syarat keduanya –Bukhari dan Muslim-; Al-

    Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwah: 1/189)

    Jadi, ibu Nabi kita itu adalah musyrik yang Nabi (dan juga kita) dilarang untuk memintakan ampun kepadanya.

    Yang menyebut ibu Nabi itu musyrik adalah Allah sendiri, bukan Wahabi. (kenapa tuduhan bisa dialamatkan kepada Wahabi?)

    Kewajiban kita hanyalah beriman kepada Allah, termasuk tentang keadaan ibu Nabi kita itu, walaupun kita tak dapat menerima kenyataan bahwa ibu Nabi tidak lebih baik keadaannya daripada ibu-ibu kita sendiri, tapi iman kita kepada-Nya tidak dapat ditawar-tawar lagi.

    Syiah tidak mengakui keshahihan riwayat Muslim diatas, sebabnya adalah karena ABU HURAIRAH.

    Di buku "Islam Aktual" (bukunya tidak ada pada @sunrise), kang Jalal menuduh Abu Hurairah itu mudallis (suka menyamarkan hadits). Sehingga sekitar +/- 5400 hadits dari jalan Abu Hurairah dianggap tidak shah. Sudah dibantah Ahmad Husnan (Persis) di buku saku "Kritik hadits cendekiawan dijawab santri". (bukunya ada pada @sunrise).

    Demikian alasan Syiah tidak meyakini ibu (dan bapak) Nabi kita di neraka, hal mana tidak dapat dijawab user @wasiat cs dengan baik. Atau sengaja hendak melindung kang Jalal yang Profesor Doktor, tetapi sok kritikus hadits.

    4 JawabanRamadhan8 tahun yang lalu
  • Tentang akidah Syiah, user @wasiat cs tidak kompeten?

    Saya baru menyadari, memang ada dua kaum yang ta'asyub kepada Ahlul Bait, selain Syiah, adalah Sufi.

    Namun tentang akidah Syiah, Sufi tidak berkompeten untuk menjawabnya.

    Pantas saja selama ini jawaban @wasiat (sufi) tentang akidah Syiah selalu mengambang, bahkan @Taufiq Moslem sampai menduga @wasiat dkk itu adalah Syiah "awam".

    4 JawabanRamadhan8 tahun yang lalu
  • Cukupkan membahas tentang syiah sampai disini saja?

    “Sebagian dari tanda baiknya keislaman seseorang ialah ia meninggalkan sesuatu yang tiada berguna baginya.” (Hadits hasan, riwayat Tirmidzi dan lainnya).

    Apa manfaat membahas syiah jika tidak ada seorangpun user syiah di room ini. Sedangkan @wasiat, @bacalah dkk mengaku dari kaum sufi.

    7 JawabanRamadhan8 tahun yang lalu
  • Mencari dalil sesudah terlanjur mengamalkannya?

    Banyak orang yang mengerjakan suatu amal atau ibadah yang didasarkan pada pendapat yang dianggapnya paling benar. Setelah datang orang yang bertanya atau menegurnya, barulah mereka mencari keterangannya di al-Qur'an dan as-Sunnah. Kalau tidak dapat, dicari-carinya di kitab-kitab lain, lalu dicocok-cocokkan dengan paksa sehingga seolah-olah ada alasannya dari Agama.

    Kadangkala mereka tidak hiraukan teguran orang yang menunjukkan kepada mereka bahwa perbuatan itu tidak benar, salah atau bid'ah.

    Setelah betul-betul terdesak, karena mereka hendak mempertahankan perbuatan salah itu, boleh jadi juga karena hendak menjaga pengaruhnya, maka dengan tenaga dan keahlian yang ada, mereka cari-carilah alasannya sedapat-dapatnya sekalipun bukan pada tempatnya.

    Cara pemaksaan begini menyebabkan alasan-alasan yang mereka bawakan itu tidak ada satupun yang tepat atau mengena. Dari cara demikian, timbullah kerusakan dalam Agama, lahir bid'ah-bid'ah, sehingga Agama yang suci bersih ini diselubungi dengan yang kotor-kotor.

    "Seharusnya, bagi orang yang insyaf dan sadar, sebelum mengerjakan sesuatu amal, terlebih dahulu ia mencari dalilnya. Kalau belum atau tidak dapat, janganlah dikerjakannya, tetapi tawaqquf saja dulu".

    Tawaqquf = mendiamkan atau berhenti karena tidak tahu atau tidak/ belum dapat dalilnya, dengan satu harapan agar Allah menurunkan hidayah-Nya.

    "Mencari dalil sesudah beramal" itu adalah salah satu dari beberapa cara keliru yang melahirkan perselisihan diantara kaum Muslimin.

    5 JawabanRamadhan8 tahun yang lalu
  • Kepada yang menajiskan anjing tersebab air liurnya?

    - Di masa Nabi, anjing bebas keluar masuk Masjid, tetapi tidak ada satupun perintah maupun anjuran dari Nabi untuk membersihkan bekas-bekas anjing itu, baik itu bekas tubuhnya, bekas air liurnya yang menetes, bekas kencingnya, bekas muntahnya dll.

    Yang ada malahan perintah dari Nabi kepada shahabat-shahabatnya untuk membersihkan bekas orang Arab Badui yang kencing di dalam Masjid.

    - Kalau tubuh anjing itu najis tersebab air liurnya, mestinya tubuh manusia itu lebih najis lagi dari pada anjing, tersebab air kencingnya.

    Air kencing manusia membatalkan wudhu, sedangkan air liur anjing (bahkan air kencingnya) tidak ada dalil yang menghubungkannya dengan wudhu.

    Maukah anda menerima kenyataan itu?

    5 JawabanRamadhan8 tahun yang lalu
  • Kondisi apa yang mengizinkan diadakannya ijtihad?

    Apakah mendudukkan dua dalil yang nampaknya saling bertentangan itu sudah dapat disebut sebagai ijtihad?

    6 JawabanRamadhan8 tahun yang lalu
  • Maksudnya menyambut usulan @Terima Kasih, ternyata hasilnya nihil?

    Ada usul dari @Terima Kasih agar kita belajar ilmu-ilmu Agama, bukan saling berdebat tidak karuan.

    http://id.answers.yahoo.com/question/index;_ylt=Al...

    Ternyata apa yang didapati,

    http://id.answers.yahoo.com/question/index;_ylt=At...

    Tidak ada satupun yang bisa menjawabnya.

    Tanpa perlu berpanjang-lebar lagi, inilah yang dimaksud dengan "menemukan" yang makruh itu.

    Ayat al-Baqarah: 173 itu mengandung lafadz "innamaa", yang begini disebut masyhur, artinya: terbatas. Maksudnya: isi atau ketentuan yang ada dalam susunan itu, terbatas menurut apa yang disebutkan disitu saja, tidak boleh ditambah atau dikurangi lagi.

    Jadi, yang diharamkan atas kamu itu HANYA bangkai, darah, babi dan sembelihan yang disebut nama selain Allah, LAIN TIDAK.

    Semua lafadz "haram" pada al-Qur'an, terpakai menurut istilah syara', yaitu: kalau dikerjakan mendapat siksa, kalau ditinggalkan tidak mengapa.

    Sedangkan lafadz "haram" pada Sabda Nabi, kadang terpakai menurut istilah syara' (pada perkara yang tidak dibatasi Allah), kadang terpakai menurut arti bahasa.

    Kembali ke topik bahasan.

    Tentang Sabda Nabi: Setiap binatang buas yang bertaring adalah "haram" dimakan.

    #) Kalau "haram" disitu terpakai menurut istilah syara', berarti Nabi menambah-nambah yang sudah dibatasi Allah. Ini tidak bisa jadi, antara Firman Allah dengan Sabda Nabi saling bertentangan.

    Oleh sebab itu, lafadz "haram" pada Sabda Nabi itu tentulah haram menurut arti bahasa, yaitu: dilarang.

    Larangan itu ada dua macam:

    - larangan keras,

    - larangan ringan.

    Kalau kita pakai "larangan keras", berarti sama dengan point #) diatas tadi, yaitu Nabi menambah yang sudah dibatasi Allah. Sebab, larangan keras itu kalau menurut istilah syara' disebut haram.

    Alhasil, yang dimaksud "haram" pada Sabda Nabi itu adalah larangan ringan, yang menurut syara' disebut makruh.

    Jadi, binatang buas yang bertaring itu hukumnya makruh saja.

    Tambahan.

    Disebut Masyhur jika mengandung lafadz "innamaa" atau "annamaa" atau "laa, lam, laisa, maa dan ditengahnya ada illaa", seperti "LAA ilaha ILLAA Allah", berarti tuhan itu HANYA Allah saja, LAIN TIDAK.

    8 JawabanRamadhan8 tahun yang lalu
  • Dapatkah anda menemukan yang "makruh" dengan kedua dalil ini saja?

    DALIL PERTAMA: AL-QUR'AN

    "Hanyasanya" diharamkan atas kamu, bangkai, darah, babi, dan sembelihan yang disebut nama selain Allah... (al-Baqarah: 173).

    DALIL KEDUA: HADITS NABI

    Dari Abu Hurairah, Nabi saw bersabda: Setiap binatang buas yang bertaring adalah "haram" dimakan. (SR. Muslim).

    Dengan memperhatikan kaidah-kaidah ushulnya, anda akan mendapati yang makruh itu.

    Tidak perlu jadi Mujtahid untuk bisa menjawab pertanyaan ini.

    7 JawabanRamadhan8 tahun yang lalu
  • Yang mengganggu di room ini?

    User-user yang bukannya menjawab pertanyaan penanya, malahan sibuk mengomentari jawaban user-user diatasnya.

    Kalau tak dapat menjawab, lebih baik diam daripada mempermalukan diri.

    Tak ada kayu, rotan-pun jadi.

    Tak bisa jawab, komentar-pun jadi.

    Tanggapan anda?

    5 JawabanRamadhan8 tahun yang lalu
  • Kegagalan Misi Komite Hijaz dan tindak lanjutnya?

    Surat Resmi Raja Saudi kepada NU

    KERAJAAN HIJAZ, NEJD DAN SEKITARNYA Nomor: 2082 – Tanggal 24 Dzulhijjah 1346H.

    Dari : Abdul Aziz bin Abdur Rahman Al-Faisal Kepada Yth. Ketua Organisasi Nahdlatul Ulama di Jawa Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari dan Sekretarisnya Syaikh Alawi bin Abdul Aziz (semoga Allah melindungi mereka).

    Surat saudara tertanggal 5 Syawwal 1346H telah sampai kepada kami. Apa yang saudara sebutkan telah kami fahami dengan baik, terutama tentang rasa iba saudara terhadap urusan ummat Islam yang menjadi perhatian suadara, dan delegasi yang saudara tugaskan yaitu H. Abdul Wahab, Sekretaris I PBNU, dan Ustadz Syaikh Ahmad Ghanaim Al-Amir, Penasihat PBNU telah kami terima dengan membawa pesan-pesan dari saudara. Adapun yang berkenaan dengan usaha mengatur wilayah Hijaz, maka hal itu merupakan urusan dalam negeri Kerajaan Saudi Arabia, dan Pemerintah dalam hal itu berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan segala kemudahan bagi jemaah haji di Tanah Suci, dan tidak pernah melarang seorang pun untuk melakukan amal baik yang sesuai dengan Syari’at Islam. Adapun yang berkenaan dengan kebebasan orang, maka hal itu adalah merupakan suatu kehormatan, dan alhamdulillah, semua Ummat Islam bebas melakukan urusan mereka, kecuali dalam hal-hal yang diharamkan Allah, dan tidak ada dalil yang menghalalkan perbuatan tersebut, baik dari Al-Qur’an, Sunnah, Mazhab Salaf Salih dan dari pendapat Imam empat Mazhab. Segala hal yang sesuai dengan ketentuan tersebut, kami lakukan dan kami laksanakan, sedang hal-hal yang menyelisihinya, maka tidak boleh taat untuk melakukan perbuatan maksiat kepada Allah Maha Pencipta. Tujuan kita sebenarnya adalah da’wah kepada apa yang dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw dan inilah agama yang kami lakukan kepada Allah. Alhamdulillah kami berjalan sesuai dengan faham ulama Salaf yang Salih, mulai dari Sahabat Nabi hingga Imam empat Mazhab. Kami memohon kepada Allah semoga memberi taufiq kepada kita semua ke jalan kebaikan dan kebenaran serta hasil yang baik. Inilah yang perlu kami jelaskan. Semoga Allah melindungi saudara semua. Tanda tangan dan stempel (Al-Arkhabil, Tahun 5, vol 8, Sya’ban 1420H Nopember 1999, LIPIA, Jakarta, halaman 22)

    Usulan resmi NU kepada Raja Saudi Arabia agar tetap dibolehkan membaca dzikir dan wiridan yang diamalkan oleh sebagian orang NU di antaranya do’a-do’a dalam Kitab Dalailul Khiarat (tentunya termasuk pula dzikir-dzikir aneka aliran thariqat/ tarekat), Sedang ulama Saudi menginginkan agar ditinggalkan, karena mengandung bid’ah dan kemusyrikan. Dalam sejarahnya Nahdlatul Ulama, baik secara perorangan kiyai-kiyainya maupun secara organisasi, telah dengan gigih mempertahankan wiridan dengan membaca Kitab Dalail al-Khairat.

    Raja Saudi tidak menjawabnya secara khusus tentang Kitab Dalail al-Khairat itu. Ternyata balasan surat Raja Saudi, telah diputar balikkan sedemikian rupa yang seolah misi NU itu sukses dalam hal direstui untuk mengembangkan hal-hal yang NU maui. Hingga surat Raja Saudi itu seolah jadi alat ampuh untuk menggencarkan apa yang oleh ulama Saudi disebut sebagai bid’ah dan kemusyrikan. Di antara buktinya, bisa dilihat ungkapan yang ditulis tokoh NU, KH Saifuddin Zuhri sebagai berikut:

    “Misi Kyai ‘Abdul Wahab Hasbullah ke Makkah mencapai hasil sangat memuaskan. Raja Ibnu Sa’ud berjanji, bahwa pelaksanaan dari ajaran madzhab Empat dan faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah pada umumnya memperoleh perlindungan hukum di seluruh daerah kerajaan Arab Saudi. Siapa saja bebas mengembangkan faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah ajaran yang dikembangkan oleh Empat Madzhab, dan siapa saja bebas mengajarkannya di Masjidil Haram di Makkah, di Masjid Nabawi di Madinah dan di manapun di seluruh daerah kerajaan”. [14]

    Apa yang disebut hasil sangat memuaskan, dan bebasnya mengembangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah itulah yang dipasarkan oleh NU di masyarakat dengan versinya sendiri. Sebagaimana pengakuan Abdurrahman Wahid, didirikannya NU itu untuk wadah berorganisasi dan mengamalkan ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah versinya sendiri. Ahlus Sunnah wal Jama’ah Versi NU sendiri yaitu memperjuangkan lestarinya tradisi mereka di antaranya yang telah diusulkan dengan nyata-nyata bukan hanya di dalam negeri tetapi sampai di Saudi Arabia yaitu pengamalan wirid Kitab Dalail Al-Khairat dan dzikir-dzikir lainnya model NU di antaranya tarekat-tarekat.

    Akibatnya, sekalipun ulama Saudi Arabia secara resmi mengecam amalan-amalan yang diusulkan itu ditegaskan sebagai amalan yang termasuk bid’ah dan kemusyrikan, namun di dalam negeri Indonesia, yang terjadi adalah sebaliknya. Seakan amalan-amalan itu telah mendapatkan “restu” akibat penyampaian-penyampaian kepada ummat Islam di Indonesia yang telah dibikin sedemikian rupa (bahwa misi utusan NU ke Makkah sukses besar dan direstui bebas untuk mengamalkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah) sehingga amalan-amalan itu semakin dikembangkan dan dikokohkan secara organisatoris dalam NU.

    http://blog.wiemasen.com/sejarah-berdirinya-nu/

    4 JawabanRamadhan8 tahun yang lalu
  • Penolakan atas perataan makam Rasulullah bukanlah pembelaan terhadap Rasulullah sendiri?

    Maksudnya mau meng "Edit" jawaban, tak sengaja menekan tombol "Hapus", pada pertanyaan @Muhtar Fakih disini

    http://id.answers.yahoo.com/question/index;_ylt=Al...

    Berikut jawaban saya yang tak sengaja terhapus itu.

    Berkata al-Qasim bin Muhammad: Saya masuk ke rumah ‘Aisyah, lalu saya berkata: “Wahai ibu, tolong unjukkan kepadaku kuburan Rasulullah saw dan kuburan dua shahabat beliau (Abu Bakar dan Umar)”. Kemudian ‘Aisyah menunjukkan kepadanya tiga kuburan yang tidak tinggi dan tidak terlalu rata… (HR. Abu Dawud dan Hakim).

    Kejadian tersebut di masa pemerintahan Mu’awiyah antara tahun 41 dan 60 H, sedangkan Rasulullah wafat pada tahun 11 H.

    Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, kuburan Nabi saw ditinggikan orang sampai empat jari.

    Demikianlah sedikit demi sedikit ditambah-tambah sampai seperti keadaan yang sekarang ini.

    Jadi yang membangun makam Rasulullah itu bukanlah Rasulullah sendiri, melainkan beberapa kaum dimasa Umar bin Abdul Aziz dan setelahnya.

    Maka penolakan kamu atas perataan makam Rasulullah itu sama sekali bukan pembelaanmu kepada Rasulullah, melainkan kepada beberapa kaum yang tidak jelas itu.

    Dan secara tidak langsung kamu pun sudah menuduh Aisyah dan para shahabat itu musuh Nabi Muhammad saw, karena tidak membangun makam beliau lengkap dengan kubahnya. Na'udzubillah mindzalik.

    Itulah akibat dari pembelaan kalian terhadap Syi'ah, lambat laun kalian akan seperti Syi'ah juga.

    9 JawabanRamadhan8 tahun yang lalu
  • Dalil-dalil sembelihan karena Allah?

    1. UNTUK KEBUTUHAN SEHARI-HARI.

    "Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu". (al-Baqarah: 29).

    2. UNTUK MEMULIAKAN TAMU.

    "Sudah sampaikah padamu cerita tentang tamu Ibrahim yang dimuliakan? Ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: "Salaman." Ibrahim menjawab: "Salamun, (kalian) adalah orang-orang yang tidak dikenal." Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya lalu dibawanya daging bakar dari anak sapi yang gemuk dan dihidangkannya kepada mereka, Ibrahim berkata: "Tidakkah kalian makan?". (Adz-Dzariyat: 24 - 27).

    3. UNTUK MENGUNDANG ORANG.

    Diriwayatkan dari Abu Mas'ud Al-Anshari ra, dia berkata: Di antara kaum Anshar ada seorang yang bernama Abu Syu'aib. Dia mempunyai seorang budak laki-laki yang pandai menangani penyembelihan hewan. Abu Syu'aib berkata kepada budaknya: "Buatkanlah makanan untuk saya, karena saya akan mengundang Rasulullah saw beserta empat orang sahabatnya". Abu Syu'aib mengundang Rasulullah saw beserta empat orang sahabatnya, kemudian mereka datang dengan diikuti satu orang lagi. Rasulullah saw bersabda kepada Abu Syu'aib: "Dia ini mengikuti kami, terserah kepada kamu, kamu mengizinkannya atau menolaknya". Abu Syu'aib berkata: "Saya mengizinkannya". (Bukhari).

    4. UNTUK WALIMAH NIKAH.

    Nabi saw pernah berkata kepada Abdurrahman bin Auf:

    "Adakanlah walimah, walaupun dengan seekor kambing." (Muttafaqun Alaih).

    5.UNTUK WALIMAH AQIQAH.

    "Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelih (kambing) darinya pada hari ketujuh, dicukur, dan diberi nama" (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah).

    6. UNTUK QURBAN IDUL ADHA.

    "Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah". (Al-Kautsar: 2).

    7. UNTUK DAM

    "Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban (dam) yang mudah didapat...". (Al-Baqarah: 196).

    Khusus untuk Lebaran Idul Fitri, karena di negeri kita ini telah menjadi tradisi berlebaran dengan saling bertandang, maka niat sembelihannya bisa karena untuk "memuliakan tamu", berdasarkan "innamal a'malu binniyat" (hanyasanya amalan itu tergantung niatnya).

    Karena kesibukan, saya cukupkan sampai disini post @sunrise tentang bid'ah itu.

    Silahkan tanggapan anda. Terima kasih.

    3 JawabanRamadhan8 tahun yang lalu
  • Apa-apa yang disembelih untuk selain Allah (al-Baqarah: 173) banyak terdapat pada hajatan-hajatan bid'ah?

    Berkata Ibnu Abbas:

    "Maa uhilla bihi itu ialah (sembelihan) untuk berhala-berhala". (Tafsir Ibnu Jarir 2: 49).

    Berkata Ibnu Jarir dalam tafsirnya 2: 49:

    "Dikatakan maa uhilla bihi itu tidak lain melainkan karena orang-orang Jahiliyah dulu, biasa apabila hendak menyembelih sesuatu yang mereka korbankan untuk berhala-berhala, mereka menyebut nama berhala-berhala yang mereka korbankan sesuatu untuknya, dan ketika menyembelih itu mereka mengeraskan suara...".

    Berkata imam Syaukany dalam tafsirnya I: 148:

    "... dan seperti itu juga apa yang diperbuat oleh orang-orang yang beri'tikad kepada orang-orang yang sudah mati, tentang sembelihan atas kuburan mereka. Sesungguhnya ini masuk golongan maa uhilla bihi. Tidak ada perbedaan antara ini dengan sembelihan untuk berhala itu".

    Maka maa uhilla bihi itu adalah seperti sembelihan-sembelihan dimasa jahiliyah.

    Berikut sembelihan dengan nama Allah, atau karena Allah, atau karena ... Allah (titik-titik kosong bisa "yang diridhoi", "yang diberkahi", "yang dibenarkan" dll yang semakna dengan itu):

    1. Untuk kebutuhan sehari-hari

    2. Untuk memuliakan tamu

    3. Untuk mengundang orang

    4. Untuk walimah nikah

    5. Untuk walimah aqiqah

    6. Untuk Dam (korban dalam ibadah haji)

    7. Untuk Qurban Idul Adha.

    Yang selain dari ketujuh macam sembelihan itu adalah yang dimaksud "maa uhilla bihi" pada al-Baqarah: 173, seperti untuk selamatan/ syukuran satu bulan, tujuh bulan, satu suro, tahlilan, maulidan, ulang tahun, pindah rumah, tajdid nikah, pelantikan, peresmian, halal bi halal, bangun rumah, dll yang oleh Wahabi disebut hajatan bid'ah (pinjam istilah Wahabi-nya, ya).

    Sehingga Ahli bid'ah itu ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, sudah mengamalkan amalan bid'ah, termakan yang haram pula.

    Silahkan tanggapannya. Terima kasih atas perhatian Anda.

    6 JawabanRamadhan8 tahun yang lalu
  • Perkara ibadah dan duniawi pada Adzan (sebagai satu contoh)?

    Sebelumnya perlu dipertegas dulu perbedaan antara perkara ibadah dengan perkara duniawi/ adat.

    Berkata Imam asy-Syathibi:

    "Sesungguhnya apa-apa yang tak dapat difikirkan maksud-maksudnya dengan jelas, baik perkara yang diperintah ataupun dilarang, maka dinamakan "Ta'abbudi" (ibadat), dan apa-apa yang dapat difikirkan maksudnya dan dikenal kebaikan dan kejahatannya, maka ia itu dinamakan "Aadi" (adat). Oleh sebab itu, maka bersuci, sholat, shaum, hajji semuanya (dinamakan) "Ta'abbudi", dan jual-beli, nikah, talak, sewa-menyewa, jinayat itu semuanya (dinamakan) "Aadi"." (al-I'tisham).

    # Kembali ke judul pertanyaan.

    Adzan (lafadznya, tertibnya, tata-caranya) adalah perkara ibadah yang kita sudah sama-sama maklum.

    "Mengumandangkan, mensyiarkan atau mengadakan" adzan adalah perkara duniawi yang dapat kita fikirkan maksudnya, yaitu untuk memberitahu khalayak ramai bahwa waktu sholat sudah masuk.

    > Hukum asal perkara duniawi itu mubah, sehingga cara baru mengadakan adzan kedua, ketiga dan seterusnya di satu tempat yang agak jauh dari batas suara adzan sebelumnya (cocok dengan maksud mengadakannya) adalah mubah, begitu juga untuk "mengadakan" adzan melalui TOA, TV dan Radio.

    Menurut bahasa, Sunnah itu sama artinya dengan Bid'ah, yaitu sama-sama berarti: "cara baru yang diadakan".

    Sehingga cara baru yang mubah itu adalah "Sunnah hasanah" seperti yang dimaksud pada riwayat "man sanna sunnatan hasanah..." (barangsiapa mengadakan cara baru yang baik...).

    > Sedangkan "mengadakan" adzan kedua di satu Masjid yang sama, ini masuk perkara yang tak dapat kita fikirkan maksudnya (tidak cocok dengan maksud mengadakannya). Kalau adzan sudah terdengar seseorang di dalam Masjid dan di sekitarnya, perlu apa kita adakan adzan kedua? Apa manfaatnya?

    Mengadakan perkara yang tak dapat kita fikirkan maksudnya (perkara ghaib) itu bukan menjadi urusan manusia untuk mengaturnya. Perkara yang ghaib, seperti semua perkara ibadah itu adalah hak Allah untuk mengaturnya sebagai yang empunya Agama Islam ini.

    Maka, mengadakan cara baru yang bukan menjadi hak manusia untuk mengurusnya itu adalah haram, inilah yang disebut bid'ah dhalalah.

    Dengan demikian:

    - sunnah hasanah, sunnah sayyi'ah itu terdapat pada perkara duniawi/ adat yang Nabi mengizinkan/ memberi hak kepada kita untuk mengatur caranya (periksa riwayat man sanna sunnatan... ), kalau hasilnya baik, jadi sunnah hasanah, kalau hasilnya buruk, jadi sunnah sayyi'ah.

    - bid'ah dhalalah itu semuanya ada pada perkara ibadah.

    Silahkan tanggapan anda (koreksi kalau saya salah), terima kasih.

    Bersambung, insya Allah.

    8 JawabanRamadhan8 tahun yang lalu
  • Tidak ada larangan dari Nabi saw, tidak selalu berarti mubah?

    Sebelumnya perlu dibedakan dulu antara perkara ibadah dengan perkara duniawi.

    > PERKARA IBADAH

    - perkara yang belum pernah dikerjakan atau dipikirkan manusia sebelum datangnya Islam, seperti: sholat, wudhu, shaum Ramadhan dlsb.

    - perkara yang kita tidak mengerti sebab-sebabnya, seperti: sholat, kenapa diawali dengan takbir, bukan basmalah? Wudhu, kenapa mencuci kaki hanya sampai mata kaki, sedangkan mencuci tangan bisa sampai siku?

    (yang mengaku sudah tahu sebab-sebabnya, itu hanya atas dasar prasangka, bukan dalil).

    > PERKARA DUNIAWI

    - perkara yang sudah biasa dikerjakan ummat manusia sebelum datangnya Agama, seperti: makan, olah-raga, bekerja dlsb.

    - perkara yang kita mengerti sebab-sebabnya, seperti: makan untuk menguatkan tubuh, olah-raga untuk menyehatkan badan, bekerja untuk mencari penghidupan di dunia dlsb.

    > KAIDAH USHUL untuk tiap-tiap perkara.

    - "Barangsiapa mengerjakan suatu amal yang tidak ada suruhan kami atasnya, maka tertolaklah ia".

    Perkara yang mengandung "suruhan kami atasnya" maksudnya adalah perkara ibadah.

    Berdasarkan riwayat diatas, maka

    "Hukum asal perkara ibadah adalah haram sampai ada dalil yang merubahnya".

    Sehingga "tidak ada larangan" dari Nabi itu maksudnya tidak ada dalil (yang melarangnya), kalau begitu maka hukum mengamalkan perkara ibadah yang tidak ada dalilnya (baik larangan maupun anjuran) itu kembali kepada hukum asalnya, yakni: haram.

    - "Kamu lebih mengerti urusan duniawi-mu".

    Berdasarkan riwayat diatas, maka

    "Hukum asal perkara duniawi itu adalah mubah sampai ada dalil yang merubahnya".

    Sehingga "tidak ada larangan" dari Nabi dalam perkara duniawi itu maksudnya tidak ada dalil (yang melarangnya), maka hukum mengamalkan perkara duniawi yang tidak ada dalil (yang melarang atau menganjurkannya) itu kembali kepada hukum asalnya, yakni: mubah.

    Berhubung tidak ada pertanyaan, silahkan anda mengkritisinya saja, untuk menjadi bahkan diskusi lebih lanjut.

    Bersambung, insya Allah.

    6 JawabanRamadhan8 tahun yang lalu